Suaminya Dipenjara Ummu Fadhil Kerja Pas-pasan, Terlantar dan Diusir Warga


JAKARTA (idc.voa-islam.com) –  Menegakkan kalimatul haqq bukanlah perjalanan yang selalu indah bertabur bunga, namun penuh onak dan duri. Berbagai ujian dan cobaan pasti akan dialami oleh mereka yang berada di atas perjuangan suci untuk mendapatkan kedudukan yang mulia di sisi Allah.

Ujian berat itulah yang kini dialami Ummu Fadhil. Tanpa pendampingan suami di sisiknya, ummahat paruh baya ini harus menjalani kerasnya perjuangan hidup. Sang kepala keluarga yang selama ini menjadi sandaran nafkah, kini menjadi tawanan rezim di balik terali besi, karena perjuangannya menegakkan Islam dianggap bertentangan dengan sistem thaghut.

Ummu Fadhil tinggal di sebuah perkampungan padat penduduk di bilangan Kota Bambu Jakarta Barat. IDC.voa-islam.com harus menyusuri lorong gang yang sangat sempit untuk mewawancarainya, Selasa siang (20/3/2012).

Dengan sepenuh kesedihan, ia mengisahkan kronlogis penangkapan suaminya. Pagi itu sekitar pukul 10.00 WIB, ia baru saja pulang dari rumah sang kakak bersama sang suami. Sesampainya di rumah sang suami mengatakan hendak keluar sebentar membeli pulsa. Namun cukup lama menunggu ternyata sang suami tak kunjung pulang, hatinya pun mulai cemas.

Tak lama, anak perempuan Ummu Fadhil yang masih balita berlari ke dalam rumah. Dengan panik ia mengadu bahwa di luar ada orang diseret-seret oleh banyak polisi.

Sontak, Ummu Fadhil bergegas ke luar rumah. Di hati terbetik firasat buruk terhadap sang suami yang tak kunjung pulang membeli pulsa. Bersama anak perempuannya yang masih kecil ia berlari kecil mencari sang suami sambil bertanya kepada warga yang menyaksikan kejadian.

Benar, hal buruk yang tak pernah disangka-sangka itu terjadi. Bak tersambar petir di siang bolong, Ummu Fadhil tergolek lemas saat sejumlah warga mengatakan bahwa yang ditangkap itu adalah suaminya. 

Kesedihan Ummu Fadhil makin membuncah, lantaran cukup lama paska penangkapan, ia mendengar kabar suaminya. Sepekan kemudian pihak kepolisian menyampaikan surat penangkapan. Sang suami dituduh terlibat dalam jaringan terorisme dan menyimpan senjata api.

Meski kabar keberadaan suaminya, namun persoalan belum selesai. Hingga dua pekan kemudian Ummu Fadhil tak bisa membezuk sang suami. Sang suami baru boleh dibezuk beberapa pekan lagi, itu pun ia tidak diperkenankan membawa apa pun kecuali pakaian.

Kerinduannya kepada sang suami akhirnya terobati meski ia berada di dalam sel. Saat pertama kali membezuk, ia sangat sedih dan tak bisa menahan tangis melihat kondisi suaminya. Mulutnya sulit untuk bicara akibat bengisnya proses penyiksaan oleh Densus 88. Bahkan pendengaran suaminya pun terganggu. “Sungguh biadab penyiksaan yang dilakukan Densus 88, apa guna adanya menteri hukum dan HAM di negeri ini?” protes Ummu Fadhil.

Meski kondisinya sudah tak berdaya, penindasan yang dialami  Ummu Fadhil bukan surut, malah makin menjadi. Sebagai pihak yang terzalimi, mereka ingin menyerahkan proses hukum kepada Tim Pengacara Muslim (TPM). Namun pihak kepolisian mengancam akan mempersulit kunjungan bezuk dan memperberat vonis jika proses hukum diserahkan pada TPM. Akhirnya dengan sangat terpaksa, sang suami memilih menyerahkan proses hukum kepada Asludin Hatjani pengacara yang disiapkan Densus 88.

Belum selesai persoalan lama, tambah lagi musibah. Dalam kondisi yang teramat sulit menghimpit, ia diusir dari rumah kontrakannya yang sudah ia tempati lebih dari 13 tahun. Lengkap sudah kepedihan Ummu Fadhil. Tak tahu harus ke mana ia harus membawa dua anaknya yang masih kecil-kecil.

Namun pertolongan Allah datang tepat pada waktunya. Sejenak bisa bernafas lega saat Ummu Salamah, teman pengajian Ummu Fadhil memintanya tinggal di rumahnya. Qadarullah, Ummu Salamah mengalami nasib yang sama di mana suaminya ikut ditangkap Densus 88 dengan tuduhan terlibat terorisme.

Sampai saat ini meski mereka tinggal bersama dalam satu rumah kontrakan dengan kondisinya yang sangat memprihatinkan. Di depannya ia harus memikul beban berat menggantikan tugas suaminya. Ia berjualan ke sana kemari untuk membiayai kebutuhan ketiga anaknya. Anak pertamanya sedang menempuh pendidikan ilmu agama di sebuah pondok pesantren, sedangkan dua anak lainnya masih balita. Pedih memang!! Beban hidup terlalu berat, mau tidak mau harus ditopang dengan usaha jualan kecil-kecilan dengan penghasilan yang minim. Tapi Ummu Fadhil tetap tegar. Karena semua itu harus dilakukan untuk bertahan hidup tanpa sang suami.

Ummu Fadhil dan istri para mujahid lainnya itu tidak seharusnya menderita dan terlantar, bila kita semua mengamalkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Orang-orang mukmin itu bagaikan seorang manusia yang satu. Jika kepalanya terasa sakit, maka seluruh badannya pun ikut merasakan demam dan tidak bisa tidur” (Muttafaq ‘Alaih).

Apakah anda turut merasakan penderitaan yang dialami Ummu Fadhil? Jika anda terpanggil untuk membantu meringankan beban Ummu Fadhil, kami Infaq Dakwah Club (IDC) voa-islam.com bersuka cita menyalurkan kepada yang bersangkutan, tanpa ada potongan biaya apapun. Semua amanah insya Allah kami salurkan dan kami laporkan penyerahannya secara terbuka di voa-islam.com. Silakan hubungi: Mumtaz (08999.704050) untuk keterangan lebih lanjut. [Ahmed Widad]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KERIPIK JAMUR "KULAT KURIKIT"

SALUANG MUDIK

Hukum Merayakan Hari Valentine bagi Umat Islam